Rabu, 07 Maret 2018

Ketika Aku Merasa Aku Pasti




Pada hari itu adalah hari terbahagia dalam hidupku...
Atau mungkin awal kepercayaan diriku yang sudah bangkit kembali

Disaat aku tak percaya lagi akan adanya hubungan yang sejati dengan orang yang aku harapkan terjadi

Ya, tepat di hari itu dari pertama aku mengajakmu untuk sekedar makan siang bersama, tatapan demi tatapan, langkah demi langkah, detik demi detik , aku nikmati tanpa pernah sedikitpun aku lewati dari semua percakapan kita, dan pada hari itu aku merasakan sebagai penguasa dunia.

Aku menjadi selalu mengingatmu dari awal aku mengenalmu sampai hari ini, ketika kau mau menanggapi apa yang ku sebut “rasa” itu, menanggapi ataukah sekedar mendengarkan, ahh pikirku aku tak perduli yang terpenting waktu ku kali ini adalah kesempatan yang tak mungkin datang di lain kesempatan.

Ya, kau mengatakan kau membuka itu lagi, yang sudah sejak lama aku harapkan darimu, aku bahagia saat itu, kau mengatakan kau menyaksikan setiap perjuanganku, ya, bagiku itu mudah, karena aku akan merasakan yang namanya berbuat sesuatu untuk orang yang ku sayangi, dan aku tak pernah merasakan berkorban sedikitpun, karena ketika aku merasakan bahwa aku berkorban disitu aku harus mengatakan bahwa cinta itu mulai pudar.

Sejak saat itu aku mulai banyak berimajinasi, dimana pada saat hari itu aku benar-benar bisa bersamamu, aku takkan pernah menyiakan sedetikpun hari itu bersamamu.

Ya, karena itu aku semakin percaya diri dan percaya diri, karena aku selalu tinggi hati aku semakin hari semakin ingin melihatmu walau hanya sedikit saja, aku tahu itu keterlaluan, namun bagiku perempuan yang sangat ku kagumi tak pernah ingin ku tinggalkan begitu saja, karena bagiku melihatmu adalah mungkin saatku merasakan menjadi seorang “Guardian” mu, ya, cukup bagiku merasakannya. Aku tahu itu tak nyaman bagimu, karena kamu harus menghadapi yang namanya situasi dan kondisi yang memaksamu untuk berubah dalam pikiran itulah yang ku dengar selama ini ketika kau mengabaikan ku tanpa alasan. Namun aku tak pernah terganggu dengan semua itu, karena bagiku merasa memilikimu adalah cukup bagiku, walaupun aku sebenarnya belum memilikimu.

Hari demi hari aku melewatinya, dengan kesempatan bahwa aku selalu berada di dekatmu, walaupun menahan semua perkataan mu yang menurutku cukup tajam bagi diriku yang tak ada apa-apanya dibanding dirimu. Aku tahu kamu adalah laksana mutiara yang sering disanjungkan dimana saja, oleh siapapun, mungkin itulah yang dilihat oleh mereka yang menyukaimu, namun bagiku aku tak pernah merasa seperti untuk bertekuk lutut dihadapanmu, karena alasanku tak bisa dijawab oleh “karena”, bagiku dirimu dan hatimu seutuhnya adalah hal yang rumit untuk ku mengerti sehingga membuatmu merasakan hilangnya semua kekuranganku.

Aku mengartikanmu sebagai suatu keindahan yang tak pernah bisa ku nilai dengan logikaku, karena itulah yang membuatku terbata-bata ketika berbicara kepadamu. Dengan naifnya, aku berusaha untuk mencari tahu bahwa kau juga merasakan hal yang sama bagiku, namun suatu malam itu aku tahu bahwa kau tak sepenuhnya membuatku merasakan kepercayaan diri itu, karena kau mengubah 180 derajat maksud dari pertama diskusi singkat kita waktu itu, kecewa terus memenuhi pikiranku saat itu, namun aku bukanlah orang yang mengandalkan ego untuk mengejar hal yang ku inginkan, aku tetap terus bersabar walaupun itu bodoh, aku terus membiarkan diriku untuk menjadi temanmu, bahkan badut pun akan kalah dengan kekonyolanku kepadamu, agar membuat kau bahagia di hari demi hari.

Namun, akhirnya datang hari itu ketika aku dan kamu sudah sampai ditingkat penafsiran berbeda dari orang lain, aku kira kau pasti akan membiarkannya, namun ternyata dirimu membuat semuanya selesai pada saat itu juga, karena ternyata kau tak pernah membiarkan itu terbuka sedikitpun bagiku, bagi dia yang dulu dan sempurna bagimu mungkin iya. Kau mengatakan hal yang aku inginkan sejak pertama aku melihatmu pada saat minggu kita makan siang, namun berubah ketika sudah sedikit lama ku mengejarmu kembali, dan malam ini kau seolah menegaskan kembali bahwa “jangan berharap lagi”. Malam itu malam yang panjang bagiku, aku terus menjernihkan pikiranku harus seperti apa aku, apakah aku harus tetap mempertahankan ini dan terus berjuang demi kebersamaan yang aku inginkan, ataukah aku harus mundur sepenuh-penuhnya dan memaafkan seikhlas-ikhlasnya. Akhirnya aku memilih yang kedua, walaupun sangat sangat berat kurasakan saat itu, berjuang memaafkan, merelakan dan melepaskan lagi dan lagi, sungguh apakah hanya inikah siklus yang harus ku hadapi di setiap ku menjalin hubungan serius, yang akhirnya ditutup dengan “Melepas dan Merelakan” ?

4 komentar: