Minggu, 07 Juni 2020

Dunia Hiburan Tanah Air yang penuh Kebodohan


Apa yang pertama kali kamu pikirkan saat memikirkan tentang dunia entertainment di Indonesia? 

Apakah itu bisa dijadikan ukuran untuk kebahagiaan hidupmu?






Zaman post-modern adalah zaman kebebasan berpikir, suka tidak suka, mau tidak mau, kita mengakui dunia sekarang sudah terkontaminasi dengan paham liberal yang membebaskan seluruh manusia di dunia untuk berpikir, melakukan sesuatu, dengan syarat tidak menganggu kehidupan orang lain, artinya silakan moralmu jelek, silakan kamu mau jadi apapun yang penting tidak mengganggu kehidupan orang lain, dan banyak-banyaklah beramal.

Dunia mengalami pergesaran yang drastis dalam hal menjalani kehidupan, jika pada zaman sebelumnya kita taat dalam berbudaya, kini kita membaur dengan budaya luar, jika dulu kita menghabiskan waktu untuk melamun dan bersantai di warung kopi kini kita menghabiskan waktu di layar gawai yang penuh informasi tidak penting dengan menyendiri di dalam rumah, jika dulu kita menghormati orang tua sekarang kita ingin bebas dan semau hati tanpa menimbang-nimbang dari ajaran orang tua.

Filsafat eksistensialisme menganggap bahwa kehidupan ini harus diisi dengan sesuatu yang bermakna karena pada dasarnya hidup manusia ini kosong, kita tak tahu kemana kita pergi dan akhirnya kita akan mati. Dalam pemahaman saya, walaupun secara tidak langsung berpengaruh, tetapi pemikiran ini sangat relevan dengan keadaan yang terjadi sekarang, yaitu manusia mencari pembenaran atas hidupnya mencari yang kosong dalam kehidupannya, manusia adalah makhluk yang haus akan pengakuan karena disitulah ia merasa dihargai, walaupun pengakuan yang dimaksud disini bukan hanya pujian tetapi keberadaannya diakui. Kita ingin menjadi yang sempurna, walaupun itu menurut ukuran diri kita masing-masing. Kita menetapkan standar kesempurnaan itu berdasarkan pemahaman yang dibentuk oleh hal yang kita sukai saja, walaupun kita tahu bahwa manusia tidak sempurna, tetapi kita membuat kesempurnaan menurut pemahaman kita sebagai manusia, apalagi jika itu mayoritas, dan mayoritaslah yang menjadi kebenaran.

Konsumsi manusia saat ini adalah media, media dan media, berjam-jam kita terhubung dengan internet, kita menjadi orang yang haus akan informasi, yang baik maupun yang buruk itu menjadi hiburan bagi kita. Dunia entertainment yang diminati untuk menjadi public figure, untuk menjadi penentu nilai hidup kita, untuk menjadi standar kebahagian hidup kita, tak kita pungkiri bahwa kita menjadi akrab dengan kehidupan orang lain dan bahkan ikut campur dengan hal yang lepas bebas dari kehidupan kita sehari-hari. Artis yang cantik parasnya dan hartanya yang melimpah menjadikan kita patut untuk menirunya dan dijadikan pembenaran atas hidup kita yang kecil.

Saya menganggap bahwa dunia hiburan di tanah air tidak pantas untuk kita jadikan konsumsi yang berlebihan bagi kehidupan kita apalagi dijadikan standar yang kita tetapkan untuk hidup, karena di dalam kehidupan mereka di tonjolkan adalah sensasi atau kehidupan yang tidak sama sekali berguna untuk dikonsumsi publik, pekerjaan yang mereka lakukan sebenarnya tidak lebih dibandingkan dengan pegawai negeri sipil bahkan pedagang asongan sekalipun, karena mereka sebenarnya hanya memberikan kita karya seni yang baik untuk dikonsumsi masyarakat, namun karena kehidupan mereka sehari-hari juga menjadi hal yang harus diumbar maka makna tergeser ke arah yang berlebihan. Apalagi yang dipertontonkan adalah hal negatif dari artis yang kita contoh, sensasi yang memenuhi kehidupannya, menjadi itu lebih penting daripada karya seni yang harusnya mereka tawarkan. Alhasil selain standar masyarakat berasal dari kehidupan artis hiburan, berita gosip akan hal yang terjadi pada kehidupan keartisan juga menjadi hal yang layak dikonsumsi masyarakat.
Karya dari artis hiburan tanah air bukan hal mutlak yang ditawarkan untuk berkarya, tetapi sensasi dan gimmick juga menjadi yang seharusnya ada untuk artis menjadi terkenal dan dikenal masyarakat melalui karyanya. Apalagi jika sensasi itu berasal dari hal yang negatif, misalnya perseteruan dengan artis lain, hubungan gelap, narkoba ataupun kekayaan yang dipertontonkan kepada masyarakat. Dari hal itu saya menyimpulkan bahwa dunia hiburan tanah air adalah suatu kebodohan.

Dunia hiburan penuh hiruk pikuk kebobrokan manusia yang terbawa hawa nafsu, setidaknya itu yang terlihat dari media yang kita ikuti, walaupun kita tidak bisa memungkiri bahwa kita memang tidak bisa melepaskan diri dari hawa nafsu, namun yang menjadi masalah adalah ketika itu dikonsumsi oleh masyarakat luas, itu bisa menjadi hal yang dibenarkan. Perceraian, narkoba, kebobrokan moral menjadi sesuatu yang kita butuhkan untuk menjadi pembicaraan kita sehari-hari, apalagi dengan munculnya media youtube, instagram dan twitter, semakin menambah akses masyarakat untuk melihat kebodohan dunia hiburan indonesia, dimana disana kita bisa melihat sensasi yang bertubi-tubi seperti pamer sensasi, perseteruan, saling sindir menyindir, gimmick, bahkan organ tubuh. Lalu muncullah berbagai macam reaksi di masyarakat sehingga artis yang bodoh itu malah menjadi semakin terkenal, dan kemudian menjadi kiblat para masyarakat dalam kehidupan mereka. Media sosial juga menjadi ajang pamer kekayaan, pamer keseharian yang mewah tetapi tidak bermutu, tak ayal itu juga menjadi dasar trend masyarakat khususnya remaja sekarang ini.

Jika kita mengatakan hal seperti itu kepada mereka yang terlibat, jawaban mereka adalah yang penting jadilah dirimu sendiri. Cinta diri menurut sebagian besar zaman post-modernisasi adalah hal yang perlu tanpa lebih dalam bahwa yang mereka maksud adalah egoisme berbalut eksistensi. Paul Washer pernah berkata bahwa masalah kita bukanlah karena kita kurang cinta kepada diri sendiri, namun permasalahannya adalah kita sudah terlalu berlebihan untuk mencintai diri kita sendiri. Kita tidak bisa hanya mengandalkan untuk mencintai diri sendiri, kita juga butuh suatu penuntun yaitu Tuhan, dengan mengenal Tuhan kita bisa mencintai diri dan orang lain. Trend di media sosial dan trend di dunia hiburan bukanlah standar hidup yang sepenuhnya baik, bagaimana kalau standar itu melanggar norma yang ditetapkan Sang Pencipta yang menjadikan semuanya baik? Kita harus bisa menyaring dan memeras kehidupan di era transparansi media seperti sekarang ini, kita perlu standar yang tak berubah dari awal terciptanya dunia hingga sekarang ini, dan filsafat eksistensialisme tidak benar, liberalisme tidak sepenuhnya juga benar, yang benar adalah ketetapan Ilahi yang harus kita kenal lewat Tuhan sang Pencipta kita manusia. Sumber kebaikan umat manusia adalah sang ilahi, pada agama saya sendiri, adalah Tuhan Yesus yang menjadikan penuntun atau contoh bahwa manusia yang ideal itu seperti apa, semakin tua zaman, dosa semakin merajalela untuk menghabisi umat manusia, dan akibat itu semua kita tidak bisa bersahabat dengan alam dan bahkan dengan sesama kita, akhirnya yang terjadi adalah hal yang baik menjadi kabur, dosa menjadi hal yang wajar di dunia. kita tidak bisa menjadi mayoritas sebagai penutun, kita tidak bisa menjadikan dunia hiburan yang penuh gemerlap menjadi kebenaran di kehidupan sehari-hari, kita tidak bisa mengandalkan diri kita sendiri.



Adams Sophiano