Sabtu, 30 November 2019

Merayakan Patah Hati di Desa Talekoi


Pagi yang berkabut bersama berkas-berkas embun menyentuh wajahku dikala pergi ke Haze Shelter Ranuwelum, hari ini aku bersama teman-teman aktivis dan relawan yang tergabung dalam Youth Act dibawah naungan Ranuwelum akan bertolak ke sebuah desa di pedalaman barito, yaitu Desa Talekoi, Kecamatan Dusun Utara, Kabupaten Barito Selatan, bersama jurnalis yang akan meliput kegiatan kami. Ini adalah pengalaman pertama kali saya melaksanakan kegiatan sosial di pedalaman walaupun saya memang berasal dari pedalaman yang persis seperti desa yang akan saya datangi ini.




Kami berangkat bersama dari Haze Shelter di Palangka Raya, Jam 7 pagi, dengan orang-orang luar biasa yang hadir di hidupku beberapa bulan belakangan, singkat cerita kami tiba jam 3 sore, melewati desa-desa yang berada di antara lintas Palangka Raya dan Buntok. Lintas perjalanan ini memang selalu ku lewati saat aku menyandarkan hati untuk pulang ke rumah di Barito Timur, Desa Hayaping. Aku selalu menikmati perjalanan ketika melewati lintas ini, entahlah, mungkin karena ini adalah bagian dari perjalanan ku selama lebih dari 5 tahun menempuh pendidikan yang panjang, dan bahkan sekarang aku belum menyelesaikannya, jarak yang jauh tentu menjadi penghias pembicaraan kami di dalam mobil, mulai dari pengalaman-pengalaman mereka menjadi relawan, kisah masa lalu yang menggelitik bahkan sedikit senandung dari musik yang diputar di tape mobil yang kami tumpangi.

Sudah menjadi ciri khas saat mengalami perjalanan ke arah Barito adalah saat kita bisa menikmati hamparan hutan nan hijau di sepanjang perjalanan, namun yang kami saksikan sangat berbeda dari biasanya, dimana segala hal tentang hutan sekarang ini adalah "layu, abu dan asap" , miris kami melihatnya, apalagi ketika aku melihat tatapan kecewa dari teman-temanku di dalam mobil

“Tolong , video-in ya dams”

Aku dengan sigap mengabadikan kameraku untuk merekam hal yang sangat disayangkan ini, aku tidak pandai dalam menyalahkan bahkan berargumen, tentang alam yang menjadi sahabat ribuan tahun manusia yang tinggal di bumi, atas nama pembangunan dan kemajuan lantas haruskah kita mengorbankan keindahan yang memiliki jutaan warna kehidupan?

Aku tidak sepenuhnya tahu, bagaimana hukum ekonomi, hukum rimba atau politik yang menjadi pondasi dunia saat ini dan menjadi tolak ukur pekerjaan manusia sendiri, aku hanya kecewa pada diriku yang merupakan spesies yang sama dengan mereka kala itu hanya bisa menatap dan terheran-heran, apa yang mereka mau, mungkinkah manusia sudah hilang kendali dari hakikat penciptaan?

Semua perenungan itu buyar dengan balasan senyuman dari mentari yang tiba-tiba menhangatkan bumi dan es teh di warung makan di Desa Timpah, tandanya kami sudah berada di setengah perjalanan .
Sesekali aku melihat teman-temanku, semuanya orang luar biasa.
Aku melihat perjuangan mereka
Aku melihat visi mereka
Aku melihat idealisme mereka
Ketika aku duduk bersama mereka
Mereka yang mengajakku untuk menjadi manusia, yang memiliki mata, telinga, dan hati

Singkatnya, ketika sampai di Desa Talekoi, kami bergabung di sebuah rumah kepala adat di Desa Talekoi, yang menjadi tempat kami singgah, menginap dan meminta bimbingan dari seorang Damang Adat, segala sesuatu tentang seluk beluk budaya dan lingkungan di Desa itu.

Dari penuturan Pak Damang kepala adat, aku semakin yakin dan percaya bahwa orang dayak selalu mencintai dan memiliki keterikatan dengan alam. Ketika kita berada dalam perasaan mencintai dan memiliki, tentu kita tak bisa lepas dan melepas diri darinya, begitupun manusia dayak tak terpisahkan dari alam, identitas mereka adalah hutan dan isinya, sungai adalah nyawa mereka, binatang adalah sahabat karib mereka, sebenarnya kata “mereka” disini tidak tepat karena aku sendiri adalah seorang asli dayak yang tak terpisahkan dari yang namanya alam dan kehidupannya. Lalu bagaimana ketika cinta direnggut begitu saja atas nama kapitalisme yang meraup keuntungan sebesar-besarnya, tanpa tahu apa dampak bagi manusia sejati. Aku selalu menyaksikan kehidupan manusia dimanapun jika kehidupan mereka tanpa cinta, akan terasa hampa, kosong dan sia-sia. Begitulah jika seorang manusia dayak hidup dengan rusaknya alam. 

Aku menyaksikan kerusakan itu di sebuah danau yang tak layak lagi disebut danau di desa talekoi itu, Danau Bundar, danau yang menjadi ikon daerah ini, dimana zaman dahulu ikan-ikan selalu banyak dan mudah didapatkan, kapal-kapal besar selalu melewati arusnya, aku tak bisa bayangkan bagaimana menakjubkannya pemandangan itu, ketika tak ada kemajuan, tak ada pembangunan infrastruktur tapi manusia-manusianya mengalami budaya yang sejati, suatu kemajuan bagi masyarakat adat. Masa lalu memang begitu indah, itulah mengapa para jomblowan-jomblowati galau seribu waktu bahkan seharusnya ikut kursus cara move on agar tak bergantung dengan imaji masa lalu. Aku tak dapat pungkiri semua itu jika yang menjadi tumpuannya adalah hilangnya keasrian itu. 
Danau Bundar sekarang kering, tandus, dan ketika kemarau menjadi daratan karena abrasi/erosi yang disebabkan oleh penggundulan hutan besar-besaran. Ikan-ikan tak ada, kehidupan pun berubah.

Danau Bundar


“Nanti aja pulangnya dok, bermalam aja disini, bahaya loh, kan harus nyebrang lagi pakai feri, sedangkan ini sudah jam berapa”

“Kalau saya gak pulang ke Kalahien, pasien saya mati juga, dok”

“hati-hati, dok, nanti kabarin kalau sudah di Kalahien ya”

Itulah penggalan percakapan terakhir sebelum mentor saya di kegiatan sosial hari itu pulang ke Kalahien, padahal malamnya sudah larut, namun karena ada pasien yang harus dijaga di tempat dr. Tiop tinggal, ia memutuskan pulang malam itu juga, setelah hari yang melelahkan kami hari ini, bersama orang-orang yang sangat luar biasa,

Aku mengawalinya dengan makan nasi dengan ikan saluang di rumah damang adat bersama dr. Tiop diisi dengan percakapan indah bagaikan percakapan di film “shawshank redemption”. Setelah berbagai kalimat demi kalimat yang penuh pemikiran di masa pendidikan kedokteran di Medan dan lontaran lelucon khas Batak yang membuat diriku hampir tak tersadar dengan lontaran kalimat indah dari seorang dokter pagi itu

“Hal yang paling berharga di hidup ini bukanlah uang tapi waktu”


Kami memulai pelayanan kesehatan bersama pada jam 2 siang, aku melayani dengan pendampingan dr. Tiop dan teman-teman relawan, penyakit yang sering dikeluhkan seperti biasanya, batuk, pilek, mencret, sakit kepala, dan keluhan ringan lainnya. Karena sedemikian banyak mereka yang harus ku layani aku menjadi teringat akan pendidikan dokter yang belum selesai ini, berat dan lama, oh bolehkah aku mengeluh sebentar saja, tepat ketika aku melihat senyum kecil di anak-anak yang ku layani, jas dr. Tiup, dan tatapan kak Dauri, ternyata aku masih jauh dari segala hal yang aku inginkan dan mereka semua tunggu.

No, No, aku teringat akan suatu hal segala sesuatu ada waktunya, itulah yang diucapkan seorang nabi pada kitab Pengkhotbah dan seorang sahabatku di fakultas kedokteran yang bernasib sama denganku.
Semua keluhan itu berangsur hilang dengan peluhku yang mengucur diwajahku

“Masih banyak ini pasiennya?”

Aku tertawa mendengar ucapan yang sering kudengar dari semua dokter yang pernah ku temui saat jaga dan dinas di poli dan IGD.

Hari itu semakin panjang ketika ada seorang warga dari desa sebelah yaitu Desa Bundar yang meminta kami melayani seorang yang sakit, yang tidak sempat untuk datang ke pelaksanaan kegiatan hari itu, tentu kami mengiyakan, dan setelah kegiatan itu selesai kami melaju ke desa sebelah melewati jalan yang terjal dan tidak rata, seperti kehidupan ini. Diwarnai dengan kata “aduh” “hati-hati, dok”, “Mantap dok”, “Awas, dok”, ketika sesampainya disana kami melayani warga yang menderita stroke dengan diabetes dan hipertensi  yang harus benar-benar kami edukasi dengan jelas, karena obat hanya perlu ditambahkan dari pengobatan sebelumnya.

Hari ternyata belum berakhir ketika ternyata ada banyak warga yang ingin kami layani, walaupun hanya sekedar memeriksa tekanan darah dan edukasi, kami dengan senang hati memberinya. Ada teh manis hangat disuguhkan malam itu sebagai penutup hari itu di Desa Bundar, walaupun dalam hati aku sudah mengkhawatirkan dr.Tiup karena sudah terlalu larut untuk pulang ke Kalahien.

“Tarimekasih rama, tutu, mama”

“Hiai, sameh-sameh, hawi lagi maina lah”

Aku tersenyum dan bahagia saat itu juga, melihat kepuasan di bibir dan perkataan mereka, aku membagikannya kepada teman-temanku sepulang dari Desa Bundar ke Desa Talekoi, yang disambut ikan lauk dan sambal mangga mengkal.

Bagaimana tadi,dams”

“mantap sih, kak, entah mengapa aku ingin mengulanginya lagi, aku akan merasa kelelahan namun aku akan merasa terbuai dengan kesembuhan mereka”

Kak shinta yang memiliki ketertarikan dengan kata-kata puitis pasti akan paham dengan kalimat “lebay’ ku

Malam itu aku tersenyum, dengan langit yang penuh bintang-bintang yang ku tatap dengan adu kata puitis bersama teman-teman, aku tiba-tiba berkelana pada hal yang aku mulai mengerti, selama disini aku merayakan patah hati, patah hatiku pada kehidupan, bukan sekedar pada kehidupan dangkal ketika seorang kehilangan kekasih yang ia cinta, tapi pada saat hal yang kau inginkan atau impikan terjadi dalam hidupmu tak bisa kau dapatkan sesuai rencana, dengan tepat dan berhasil seperti orang lain alami. Aku merasa patah hati, namun aku akan mencoba mengerti ketika cara kerja kehidupan kita pahami, maka ketika kita merasa patah hati, kita harus patut merayakannya.

Aktivis, Relawan, Jurnalis dan Sebagian Warga Desa Talekoi di pinggir Danau Bundar

- Selamat Memasuki Bulan Terakhir Tahun 2019 -
Adams Sophiano