Memandang dunia ini ada berbagai macam cara
melakukannya...
Dengan menikmatinya tanpa harus melakukan sesuatu
yang mengusik kenyamanan hidup kita, menjalani yang sudah tergaris pada
kehidupan kita.
Atau..
Menelusuri sesuatu yang lain, tersembunyi, bahkan
bisa saja itu bisa mengusik kenyamanan kita..
Adalah kami, yang memiliki jiwa penjelajah dan rasa
penasaran yang tinggi
Kami menelesuri tempat ke tempat yang memiliki
keunikan tersendiri padanya
Sehingga kami berpikir...
Apa yang membuat suatu tempat menjadi unik dan
menarik untuk diketahui?
Barangkali ada bermacam-macam pendapat dari
orang-orang di jaman post-modern ini, namun ada satu yang tak bisa kita
pungkiri adalah “Cerita”
Mungkin cerita itu berupa legenda, gosip, rumor,
atau fakta yang hangat bisa menjadi daya tarik bagi setiap manusia yang ingin
mengetahuinya.
Begitulah barangkali gambaran bagi kami pada suatu
wilayah di pedalaman Kalimantan Tengah, yang juga menjadi tempat kami lahir dan
kami tinggal sekarang ini, yaitu bernama “Kabupaten Barito Timur”, tak banyak
orang-orang di dunia ini mengenal tempat ini, jauh di pedalaman kalimantan yang
terkenal dengan lebatnya hutan yang mengampar hijau, dan lengkungan pegunungan
yang menyimpan sumber daya yang tersembunyi, namun kami menyadari bahwa masyarakatnya
memiliki beragam cerita yang unik, dan menarik untuk ditelusuri, apalagi cerita
itu “tersembunyi” dan jarang untuk didengungkan di lingkungan luar, mungkin
menjadi kebanggaan sendiri bagi sang penemu yang memberitakan kepada siapapun
yang belum mengetahuinya.
Apa yang terlintas bagi kamu tentang Suku Dayak?
Kami banyak mendengar penilaian orang luar tentang
suku terbesar di Pulau Kalimantan ini, yaitu “Seram dan memiliki mitos yang
tinggi bahkan ‘Pemakan Manusia’
Barangkali kami tidak peduli apa yang orang nilai
terhada kami suku dayak, namun yang kami tahu pada dasarnya, Suku Dayak sangat
beragam di Indonesia khususnya yang menempati wilayah Daerah Aliran Sungai
Barito, yaitu Kabupaten Barito Timur, mungkin banyak yang menyangka bahwa
seluruh Kabupaten yang berbatasan langsung dengan Kalimantan Selatan ini, semua
masyarakatnya beretnis subsuku Dayak Maanyan, namun pernyataan itu tidak
sepenuhnya benar, karena di sebagian daerahnya ada suku dayak lain yaitu Dayak
Dusun dan Dayak Lawangan, ketiga suku mereka ini memang serumpun, namun
sebenarnya ada banyak perbedaan mulai dari bahasa, dialek, dan adat budayanya.
Salah satunya adalah Suku Dayak Dusun Karau
Kami menelusuri ini di sebuah desa bernama Lampeong,
Kecamatan Pematang Karau, Kabupaten Barito Timur, dimana letaknya berada
diantara diantara Kota Buntok dan Kota Ampah dan Tamiang Layang, dan hampir 300
km jaraknya dari Kota Palangka Raya, ibukota Provinsi Kalimantan Tengah.
Pada awalnya desa ini dihuni oleh penduduk Dusun
Karau dan Lawangan lebih dari 5 generasi yang lalu, namun keberadaan mereka
mulai tersingkirkan karena letak geografis yang tidak menguntungkan. Penutur
bahasa karau yang masih aktif tidak lebih dari 10 orang dari kurang lebih 950 jiwa
dan hanya dipergunakan oleh satu garis keturunan.
Dusun Karau adalah salah satu suku dayak yang
mendiami perairan Sungai Karau, anak Sungai Barito. Suku ini memiliki kemiripan
bahasa 80% dengan dusun witu dan 90% dengan Bahasa Dayak Dusun Pakoe. Dialek
yang biasa diakhiri dengan akhiran ‘u/o’ menjadi salah satu ciri rumpun Dayak
Dusun di Barito Timur.
Kita semua tahu, bahwa Bahasa memiliki keakraban
dengan kehidupan sehari-hari dan erat kaitannya dengan adat dan budaya yang
diwariskan pendahulu kita, namun...
Tahukah kalian, bahwa Dusun Karau berada dalam
kepunahan? Sama seperti bahasa Pakoe. Kami sendiri telah bertemu dengan penutur
bahasa Karau yang berada di Desa Lampeong, Kecamatan Pematang Karau, Barito
Timur.
Biyeti (Itak Pilla) adalah penutur tertua Suku Dayak
Dusun Karau, memiliki 3 orang anak dan 6 cucu, beliau masih tetap aktif
menggunakan Bahasa Karau serta masih memeluk kepercayaan leluhur Agama Daholo
(Kaharingan) Sebagai penduduk asli Lampeong, Itak bercerita tentang banyak hal
yang pernah di jalani sejak masih kecil sampai perubahan zaman dimasa sekarang.
Dilahirkan dari keturunan wadian Ngundrus Iya (Balian asli Dusun Karau) dan
wadian Bawo dari sang ayah, serta dibesarkan dari keturunan Bijaju (ibu) yang
masih memegang erat tradisi Bdeder dan Badewa.
Sekarang, penutur Bahasa Dayak Dusun Karau semakin
terlupakan. Mereka hanya berada pada beberapa wilayah adat di antara 2
Kecamatan (Pematang Karau dan Dusun Tengah), yakni : Lampeong, Lebo, Bantai
Karau, Moloh, Asak, Batu Putih dan beberapa bantai lainnya. Tidak ada data
lengkap yang dapat kami terima, namun selama setahun pencarian ini penutur
Bahasa Dusun Karau tidak lebih dari 150 orang. Dan semakin tahun selalu
mengalami penurunan.
Terlupakan merupakan kata yang sangat tidak enak
bila didengungkan pada kenayataan, dan jika hanya sebatas kenangan, akan ada
penyesalan yang ada pada perasaan yang ditinggalkan atau tertinggalkan
Lantas, siapa yang kita salahkan?
Orang tua, Pemerintah, Masyarakat Adat, atau Lembaga
Adat Dayak yang semua seolah tutup mata tentang hal ini.
Menurutmu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar