Pada hari itu adalah hari
terbahagia dalam hidupku...
Atau mungkin awal kepercayaan
diriku yang sudah bangkit kembali
Disaat aku tak percaya lagi akan
adanya hubungan yang sejati dengan orang yang aku harapkan terjadi
Ya, tepat di hari itu dari
pertama aku mengajakmu untuk sekedar makan siang bersama, tatapan demi tatapan,
langkah demi langkah, detik demi detik , aku nikmati tanpa pernah sedikitpun
aku lewati dari semua percakapan kita, dan pada hari itu aku merasakan sebagai
penguasa dunia.
Aku menjadi selalu mengingatmu
dari awal aku mengenalmu sampai hari ini, ketika kau mau menanggapi apa yang ku
sebut “rasa” itu, menanggapi ataukah sekedar mendengarkan, ahh pikirku aku tak
perduli yang terpenting waktu ku kali ini adalah kesempatan yang tak mungkin
datang di lain kesempatan.
Ya, kau mengatakan kau membuka
itu lagi, yang sudah sejak lama aku harapkan darimu, aku bahagia saat itu, kau
mengatakan kau menyaksikan setiap perjuanganku, ya, bagiku itu mudah, karena
aku akan merasakan yang namanya berbuat sesuatu untuk orang yang ku sayangi,
dan aku tak pernah merasakan berkorban sedikitpun, karena ketika aku merasakan
bahwa aku berkorban disitu aku harus mengatakan bahwa cinta itu mulai pudar.
Sejak saat itu aku mulai banyak
berimajinasi, dimana pada saat hari itu aku benar-benar bisa bersamamu, aku
takkan pernah menyiakan sedetikpun hari itu bersamamu.
Ya, karena itu aku semakin
percaya diri dan percaya diri, karena aku selalu tinggi hati aku semakin hari
semakin ingin melihatmu walau hanya sedikit saja, aku tahu itu keterlaluan,
namun bagiku perempuan yang sangat ku kagumi tak pernah ingin ku tinggalkan
begitu saja, karena bagiku melihatmu adalah mungkin saatku merasakan menjadi
seorang “Guardian” mu, ya, cukup bagiku merasakannya. Aku tahu itu tak nyaman
bagimu, karena kamu harus menghadapi yang namanya situasi dan kondisi yang
memaksamu untuk berubah dalam pikiran itulah yang ku dengar selama ini ketika
kau mengabaikan ku tanpa alasan. Namun aku tak pernah terganggu dengan semua
itu, karena bagiku merasa memilikimu adalah cukup bagiku, walaupun aku
sebenarnya belum memilikimu.
Hari demi hari aku melewatinya,
dengan kesempatan bahwa aku selalu berada di dekatmu, walaupun menahan semua
perkataan mu yang menurutku cukup tajam bagi diriku yang tak ada apa-apanya
dibanding dirimu. Aku tahu kamu adalah laksana mutiara yang sering disanjungkan
dimana saja, oleh siapapun, mungkin itulah yang dilihat oleh mereka yang
menyukaimu, namun bagiku aku tak pernah merasa seperti untuk bertekuk lutut
dihadapanmu, karena alasanku tak bisa dijawab oleh “karena”, bagiku dirimu dan
hatimu seutuhnya adalah hal yang rumit untuk ku mengerti sehingga membuatmu
merasakan hilangnya semua kekuranganku.
Aku mengartikanmu sebagai suatu
keindahan yang tak pernah bisa ku nilai dengan logikaku, karena itulah yang
membuatku terbata-bata ketika berbicara kepadamu. Dengan naifnya, aku berusaha
untuk mencari tahu bahwa kau juga merasakan hal yang sama bagiku, namun suatu
malam itu aku tahu bahwa kau tak sepenuhnya membuatku merasakan kepercayaan
diri itu, karena kau mengubah 180 derajat maksud dari pertama diskusi singkat
kita waktu itu, kecewa terus memenuhi pikiranku saat itu, namun aku bukanlah
orang yang mengandalkan ego untuk mengejar hal yang ku inginkan, aku tetap
terus bersabar walaupun itu bodoh, aku terus membiarkan diriku untuk menjadi
temanmu, bahkan badut pun akan kalah dengan kekonyolanku kepadamu, agar membuat
kau bahagia di hari demi hari.
Namun, akhirnya datang hari itu
ketika aku dan kamu sudah sampai ditingkat penafsiran berbeda dari orang lain,
aku kira kau pasti akan membiarkannya, namun ternyata dirimu membuat semuanya
selesai pada saat itu juga, karena ternyata kau tak pernah membiarkan itu
terbuka sedikitpun bagiku, bagi dia yang dulu dan sempurna bagimu mungkin iya. Kau
mengatakan hal yang aku inginkan sejak pertama aku melihatmu pada saat minggu
kita makan siang, namun berubah ketika sudah sedikit lama ku mengejarmu
kembali, dan malam ini kau seolah menegaskan kembali bahwa “jangan berharap
lagi”. Malam itu malam yang panjang bagiku, aku terus menjernihkan pikiranku
harus seperti apa aku, apakah aku harus tetap mempertahankan ini dan terus
berjuang demi kebersamaan yang aku inginkan, ataukah aku harus mundur
sepenuh-penuhnya dan memaafkan seikhlas-ikhlasnya. Akhirnya aku memilih yang
kedua, walaupun sangat sangat berat kurasakan saat itu, berjuang memaafkan,
merelakan dan melepaskan lagi dan lagi, sungguh apakah hanya inikah siklus yang
harus ku hadapi di setiap ku menjalin hubungan serius, yang akhirnya ditutup
dengan “Melepas dan Merelakan” ?
Semangatt dams! Cari kebahagian yang lain
BalasHapusThanks ndri
HapusSemangatt dams
BalasHapusIf u re brave to say "Good bye",
life will reward you with a new "Hello"
Thanks lol
Hapus