https://www.wowkeren.com/berita/tampil/00081836.html |
Oleh : Adams Sophiano
Sudah 3 jam aku
menghadap layar smartphone untuk melihat foto-foto di akun instagram Dewi, dia
adalah mantanku sudah putus sejak kurang lebih 1 tahun yang lalu. Jangan
ditanya apa hubungan setelah mantan, langit pun bakal runtuh karena tidak tahu
harus memberikan pendapat seperti apa. Apalagi tinggal di negeri yang terkenal
akan ke-religius-an ini, status
mantan sangat diskriminatif, setelah siklus permantanan akan timbul perubahan
hubungan tapi bukan kembali menjadi teman atau musuh, entahlah belum ada
istilah yang tepat untuk hubungan apa yang terjadi setelah “mantan”.
Ratih. Itulah namaku,
kalian mungkin berpikir aku adalah wanita, padahal aku sebenarnya adalah
seorang lelaki, entah apa maksud orang tua memberi aku nama demikian,
jawabannya selalu tidak memuaskan, yaitu pada saat aku dikandung, ibu ku ingin
bayinya berjenis kelamin perempuan, alhasil demikian namaku lah yang jadi
dikorbankan, dan itu juga berpengaruh bagi suasana kehidupanku yang kadang
labil.
Apalagi sejak aku
pikirkan mantan yang telah ku sebutkan, Dewi, siapa yang tak kenal mantanku
ini, cantik, bohai dan juga terkenal, mungkin kalian yang punya akun instagram
juga sering melihat Dewi Suzana yang sedang hits sehingga sering menjadi
semacam agen iklan pewangi tubuh dan produk bergengsi lainnya. Sebagai orang
yang mantan pasti ada rasa menyesal mengapa dulunya aku putuskan Dewi, ya,
bagaimana? Dulunya dia tak pandai berdandan, sekarang malah memiliki pengikut
di instagram berjuta-juta, karena dengan modal bentuk tubuh yang berubah
drastis dari sebelumnya.
Setelah hubunganku
dengan Dewi berakhir, kehidupanku berubah 180 derajat, mungkin rumput yang
bergoyang pun tak bisa menjawab, mengapa
aku bisa semacam ini, saking herannya, ada sedikit pikiranku bahwa aku di
guna-guna karena memutuskan hubungan terlebih dahulu dengan Dewi, apalagi
karena perubahan di dirinya juga kian berubah drastis yang ku lihat dari layar
smartphoneku. Aku menjadi semakin rendah, dia malah semakin di atas awan.
Banyak teman-teman yang malah mencibir dan semakin ahli mencibir kepada diriku,
loh bukannya di beri jalan keluar, malah sang mantan yang di sanjung
“Kalau aku jadi kamu,
akan ku sombongi diriku di media sosial”
“Apaan sih”, aku
menyeletuk
“Ya, biar hits juga gitohhh”
Brengsek. Hits. Begitulah karya yang di
idam-idamkan muda-mudi di kota ku ini, seolah semua yang mereka butuhkan adalah
ketenaran, padahal apa yang mereka idamkan semua itu adalah kepalsuan saja, tak
semenarik yang ada di dunia nyata, ya banyak sudah temanku yang menjadi budak
ketenaran dengan cara apapun, yang penting tenar. Sehingga sekarang ini aku
kekurangan teman, apalagi dengan isu hits sang mantan. Tak heran jika sekarang
aku lebih nyaman menyendiri.
Namun, ada satu sahabat
yang sangat peduli padaku, walaupun kami berdua sangat jarang bertemu, maklum
kesibukan adalah segalanya baginya, tak masalah bagiku, orang yang jauh sangat
peduli dengan kita lebih berharga dari ribuan teman yang hanya sekedar teman
tertawa.
“Kau harus menemuinya”
“Hah?” ku balas dengan
kata itu seolah aku bingung, bagaimana bisa aku menemui mantan ku itu
“Iya, kau harus
menemuinya, lalu berbicaralah, kalau memang kamu belum bisa melupakannya”
“Kamu gila, bro. gimana
bisa aku ngomong kayagitu”
“Itu salah satu jalan
keluarnya, merelakan berasal dari kelegaan, percaya deh kalau kamu sudah bilang itu, kamu bakal lega”
“Tapi, apa tidak
sebaiknya, aku bicara lewat chat atau telepon aja”
“No no, jangan, bro, itu akan menimbulkan bias”
“Maksudnya?”
“Kalau lewat media seperti
itu, kalian hanya bertemu dengan tulisan dan suara, bukan komunikasi yang
efektif, tidak menimbulkan kelegaan yang berarti”
Percakapan kami berdua,
memang selalu puitis, ibaratkan antara hujan dan awan, awan yang akan
menimbulkan hujan, jika ada pertanyaan maka akan ada jawaban, lalu jawaban itu
menjadi pertanyaan. Setelah berapa lama, akhirnya aku setuju bakal menemui dia
agar terdapat jalan keluar, ya walaupun sebenarnya itu bakal membahayakan bagi
perasaan yang sulit untuk dikubur, tapi aku tidak punya pilihan lain.
Hari itu aku bulatkan
niatku untuk bertemu dengannya, gugup bercampur takut. Ini merupakan hal gila
bagiku. Terakhir kali aku bertemu dengan dia, adalah kita aku mengucapkan putus
secara langsung ke dia, dan sekarang sudah kurang lebih satu tahun aku bertemu
Dewi, pertama kali aku akan melihat secara langsung bukan lewat media sosial,
sejak saat itu.
“Hai, Ratih”
“Hai.....”
Aku tidak tahu apa yang
aku rasakan ketika aku bertemu pertama kali sejak berapa lama. Tidak terduga.
Kecewa. Tak seperti yang ku bayangkan ketika aku melihat dia di media sosial. Ya,
ternyata seperti inilah tampang dia sebenarnya, tubuhnya memang indah, hanya
saja dia semakin centil.
Ketika ia mengatakan hai saja sudah kecentilannya saja
sudah melebihi artis alay di televisi.
“Kamu Dewi, kan?”
Secara tak sadar aku
mengucapkan hal yang bodoh seolah aku baru mengenalnya, namun maklum saja
karena gayanya sekarang sudah berubah drastis.
“Iya, aku Dewi, masa
kamu lupa, atau kamu pasti heran kan karena aku udah berubah jadi artis yang
didambakan dimana-mana”
Mungkin kalian akan
menduga, akan seperti apa dia berbicara kepadaku. Gaya bicara yang centil,
penuh kesombongan, dia memamerkan apa yang sebenarnya aku sudah tahu dan banyak
orang tahu.
Dialah mantanku, Dewi
Suzana, artis instagram lokal, berubah drastis dari yang ku duga, memang
parasnya menggoda siapapun yang melihat dengan smartphone yang mahal, bodi yang
aduhai, tak seperti setahun yan lalu, ramah, cantik yang alami dan sedikit
berwibawa.
Aku tak banyak
mengingat apa yang kami bicarakan pada saat itu, karena aku ingin bergegas lari
dari tempat itu. Yang aku ingat adalah ketika aku mengatakan ini
“Dewi, aku sudah
melupakanmu, sekarang aku menjalani kehidupan yang mungkin membosankan, namun
aku akan memulai lagi dengan yang baru”
Tidak penting apa
tanggapan darinya, aku mengatakan hal itu seolah aku mengatakan kepada diriku
sendiri, atas apa yang ku pikirkan selama ini.