Pagi
yang berkabut bersama berkas-berkas embun menyentuh wajahku dikala pergi
ke Haze Shelter Ranuwelum, hari ini aku bersama teman-teman aktivis dan relawan
yang tergabung dalam Youth Act dibawah naungan Ranuwelum akan bertolak ke
sebuah desa di pedalaman barito, yaitu Desa Talekoi, Kecamatan Dusun Utara,
Kabupaten Barito Selatan, bersama jurnalis yang akan meliput kegiatan kami. Ini adalah pengalaman pertama kali saya melaksanakan
kegiatan sosial di pedalaman walaupun saya memang berasal dari pedalaman yang
persis seperti desa yang akan saya datangi ini.
Kami
berangkat bersama dari Haze Shelter di Palangka Raya, Jam 7 pagi, dengan
orang-orang luar biasa yang hadir di hidupku beberapa bulan belakangan, singkat cerita
kami tiba jam 3 sore, melewati desa-desa yang berada di antara lintas Palangka
Raya dan Buntok. Lintas perjalanan ini memang selalu ku lewati saat aku
menyandarkan hati untuk pulang ke rumah di Barito Timur, Desa Hayaping. Aku selalu menikmati
perjalanan ketika melewati lintas ini, entahlah, mungkin karena ini adalah
bagian dari perjalanan ku selama lebih dari 5 tahun menempuh pendidikan yang
panjang, dan bahkan sekarang aku belum menyelesaikannya, jarak yang jauh tentu menjadi penghias
pembicaraan kami di dalam mobil, mulai dari pengalaman-pengalaman mereka menjadi
relawan, kisah masa lalu yang menggelitik bahkan sedikit senandung dari musik yang diputar di tape mobil yang kami
tumpangi.
Sudah menjadi
ciri khas saat mengalami perjalanan ke arah Barito adalah saat kita bisa
menikmati hamparan hutan nan hijau di sepanjang perjalanan, namun yang kami
saksikan sangat berbeda dari biasanya, dimana segala hal tentang hutan sekarang ini adalah "layu, abu dan asap" , miris kami melihatnya, apalagi ketika aku
melihat tatapan kecewa dari teman-temanku di dalam mobil
“Tolong ,
video-in ya dams”
Aku dengan
sigap mengabadikan kameraku untuk merekam hal yang sangat disayangkan ini, aku
tidak pandai dalam menyalahkan bahkan berargumen, tentang alam yang menjadi
sahabat ribuan tahun manusia yang tinggal di bumi, atas nama pembangunan dan
kemajuan lantas haruskah kita mengorbankan keindahan yang memiliki jutaan warna
kehidupan?
Aku
tidak sepenuhnya tahu, bagaimana hukum ekonomi, hukum rimba atau politik yang
menjadi pondasi dunia saat ini dan menjadi tolak ukur pekerjaan manusia sendiri, aku hanya kecewa
pada diriku yang merupakan spesies yang sama dengan mereka kala itu hanya bisa menatap dan terheran-heran, apa yang
mereka mau, mungkinkah manusia sudah hilang kendali dari hakikat penciptaan?
Semua perenungan itu buyar dengan balasan senyuman dari mentari yang tiba-tiba
menhangatkan bumi dan es teh di warung makan di Desa Timpah, tandanya kami sudah berada
di setengah perjalanan .
Sesekali aku melihat teman-temanku, semuanya orang luar biasa.
Aku
melihat perjuangan mereka
Aku
melihat visi mereka
Aku
melihat idealisme mereka
Ketika aku
duduk bersama mereka
Mereka yang
mengajakku untuk menjadi manusia, yang memiliki mata, telinga, dan hati
Singkatnya,
ketika sampai di Desa Talekoi, kami bergabung di sebuah rumah kepala adat di
Desa Talekoi, yang menjadi tempat kami singgah, menginap dan meminta bimbingan
dari seorang Damang Adat, segala sesuatu tentang seluk beluk budaya dan
lingkungan di Desa itu.
Dari
penuturan Pak Damang kepala adat, aku semakin yakin dan percaya bahwa orang
dayak selalu mencintai dan memiliki keterikatan dengan alam. Ketika kita berada dalam
perasaan mencintai dan memiliki, tentu kita tak bisa lepas dan melepas diri darinya, begitupun manusia
dayak tak terpisahkan dari alam, identitas mereka adalah hutan dan isinya,
sungai adalah nyawa mereka, binatang adalah sahabat karib mereka, sebenarnya
kata “mereka” disini tidak tepat karena aku sendiri adalah seorang asli dayak
yang tak terpisahkan dari yang namanya alam dan kehidupannya. Lalu bagaimana
ketika cinta direnggut begitu saja atas nama kapitalisme yang meraup keuntungan
sebesar-besarnya, tanpa tahu apa dampak bagi manusia sejati. Aku selalu
menyaksikan kehidupan manusia dimanapun jika kehidupan mereka tanpa cinta, akan
terasa hampa, kosong dan sia-sia. Begitulah jika seorang manusia dayak hidup
dengan rusaknya alam.
Aku menyaksikan
kerusakan itu di sebuah danau yang tak layak lagi disebut danau di desa talekoi
itu, Danau Bundar, danau yang menjadi ikon daerah ini, dimana zaman dahulu
ikan-ikan selalu banyak dan mudah didapatkan, kapal-kapal besar selalu melewati
arusnya, aku tak bisa bayangkan bagaimana menakjubkannya pemandangan itu,
ketika tak ada kemajuan, tak ada pembangunan infrastruktur tapi
manusia-manusianya mengalami budaya yang sejati, suatu kemajuan bagi masyarakat adat. Masa lalu memang begitu indah,
itulah mengapa para jomblowan-jomblowati galau seribu waktu bahkan seharusnya ikut kursus cara move on agar
tak bergantung dengan imaji masa lalu. Aku tak dapat pungkiri semua itu jika yang
menjadi tumpuannya adalah hilangnya keasrian itu.
Danau Bundar sekarang kering,
tandus, dan ketika kemarau menjadi daratan karena abrasi/erosi yang disebabkan oleh
penggundulan hutan besar-besaran. Ikan-ikan tak ada, kehidupan pun berubah.
Danau Bundar |
“Kalau
saya gak pulang ke Kalahien, pasien saya mati juga, dok”
“hati-hati,
dok, nanti kabarin kalau sudah di Kalahien ya”
Itulah penggalan
percakapan terakhir sebelum mentor saya di kegiatan sosial hari itu pulang ke
Kalahien, padahal malamnya sudah larut, namun karena ada pasien yang harus
dijaga di tempat dr. Tiop tinggal, ia memutuskan pulang malam itu juga, setelah
hari yang melelahkan kami hari ini, bersama orang-orang yang sangat luar biasa,
Aku mengawalinya
dengan makan nasi dengan ikan saluang di rumah damang adat bersama dr. Tiop
diisi dengan percakapan indah bagaikan percakapan di film “shawshank redemption”.
Setelah berbagai kalimat demi kalimat yang penuh pemikiran di masa pendidikan
kedokteran di Medan dan lontaran lelucon khas Batak yang membuat diriku hampir
tak tersadar dengan lontaran kalimat indah dari seorang dokter pagi itu
“Hal
yang paling berharga di hidup ini bukanlah uang tapi waktu”
Kami
memulai pelayanan kesehatan bersama pada jam 2 siang, aku melayani dengan
pendampingan dr. Tiop dan teman-teman relawan, penyakit yang sering dikeluhkan
seperti biasanya, batuk, pilek, mencret, sakit kepala, dan keluhan ringan
lainnya. Karena sedemikian banyak mereka yang harus ku layani aku menjadi
teringat akan pendidikan dokter yang belum selesai ini, berat dan lama, oh
bolehkah aku mengeluh sebentar saja, tepat ketika aku melihat senyum kecil di
anak-anak yang ku layani, jas dr. Tiup, dan tatapan kak Dauri, ternyata aku
masih jauh dari segala hal yang aku inginkan dan mereka semua tunggu.
No, No,
aku teringat akan suatu hal segala sesuatu ada waktunya, itulah yang diucapkan
seorang nabi pada kitab Pengkhotbah dan seorang sahabatku di fakultas
kedokteran yang bernasib sama denganku.
Semua
keluhan itu berangsur hilang dengan peluhku yang mengucur diwajahku
“Masih
banyak ini pasiennya?”
Aku tertawa
mendengar ucapan yang sering kudengar dari semua dokter yang pernah ku temui
saat jaga dan dinas di poli dan IGD.
Hari itu
semakin panjang ketika ada seorang warga dari desa sebelah yaitu Desa Bundar
yang meminta kami melayani seorang yang sakit, yang tidak sempat untuk datang
ke pelaksanaan kegiatan hari itu, tentu kami mengiyakan, dan setelah kegiatan
itu selesai kami melaju ke desa sebelah melewati jalan yang terjal dan tidak
rata, seperti kehidupan ini. Diwarnai dengan kata “aduh” “hati-hati, dok”, “Mantap
dok”, “Awas, dok”, ketika sesampainya disana kami melayani warga yang menderita
stroke dengan diabetes dan hipertensi yang harus benar-benar kami edukasi dengan
jelas, karena obat hanya perlu ditambahkan dari pengobatan sebelumnya.
Hari
ternyata belum berakhir ketika ternyata ada banyak warga yang ingin kami
layani, walaupun hanya sekedar memeriksa tekanan darah dan edukasi, kami dengan
senang hati memberinya. Ada teh manis hangat disuguhkan malam itu sebagai
penutup hari itu di Desa Bundar, walaupun dalam hati aku sudah mengkhawatirkan
dr.Tiup karena sudah terlalu larut untuk pulang ke Kalahien.
“Tarimekasih
rama, tutu, mama”
“Hiai,
sameh-sameh, hawi lagi maina lah”
Aku
tersenyum dan bahagia saat itu juga, melihat kepuasan di bibir dan perkataan
mereka, aku membagikannya kepada teman-temanku sepulang dari Desa Bundar ke
Desa Talekoi, yang disambut ikan lauk dan sambal mangga mengkal.
“Bagaimana
tadi,dams”
“mantap
sih, kak, entah mengapa aku ingin mengulanginya lagi, aku akan merasa kelelahan
namun aku akan merasa terbuai dengan kesembuhan mereka”
Kak
shinta yang memiliki ketertarikan dengan kata-kata puitis pasti akan paham
dengan kalimat “lebay’ ku
Malam
itu aku tersenyum, dengan langit yang penuh bintang-bintang yang ku tatap
dengan adu kata puitis bersama teman-teman, aku tiba-tiba berkelana pada hal
yang aku mulai mengerti, selama disini aku merayakan patah hati, patah hatiku
pada kehidupan, bukan sekedar pada kehidupan dangkal ketika seorang kehilangan kekasih
yang ia cinta, tapi pada saat hal yang kau inginkan atau impikan terjadi dalam hidupmu tak
bisa kau dapatkan sesuai rencana, dengan tepat dan berhasil seperti orang lain alami. Aku
merasa patah hati, namun aku akan mencoba mengerti ketika cara kerja kehidupan kita pahami, maka ketika kita merasa patah hati, kita harus patut merayakannya.
Aktivis, Relawan, Jurnalis dan Sebagian Warga Desa Talekoi di pinggir Danau Bundar |
- Selamat Memasuki
Bulan Terakhir Tahun 2019 -
Adams Sophiano